Rabu, 07 Juli 2010

Komite IV DPD : Segera Terbitkan RUU Transfer Dana

Jumat, 25 Juni 2010 12:32 Ikhwan Mansyur Situmeang

Pewarta-Indonesia, Komite IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD) merampungkan pandangan dan pendapatnya mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Transfer Dana. Hasil pembahasannya dilaporkan Wakil Ketua Komite IV DPD Abdul Gafar Usman (anggota DPD asal Riau) di hadapan Sidang Paripurna DPD yang dipimpin Ketua DPD Irman Gusman (Sumatera Barat) di Gedung Nusantara V Kompleks Parlemen, Senayan—Jakarta, Jumat (18/6).

Gafar menjelaskan, RUU Transfer Dana diajukan Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan DPD tanggal 15 Februari 2010. Komite IV DPD memahami substansi RUU Transfer Dana yang diajukan, terutama aspek anti-money laundering dan counterterrorism, yang mendukung aktivitas ekonomi. “Komite IV DPD mendukung RUU Transfer Dana segera diterbitkan, karena menciptakan sistem tranfer dana yang dipercaya oleh pelaku,” katanya.

Pembahasan dilakukan Komite IV DPD karena transfer dana di Indonesia, baik domestik maupun lintas batas negara, saat ini meningkat signifikan, baik jumlah transaksi maupun jumlah nilai nominal transaksinya. Seiring dengan peningkatan signifikan itu, media pengiriman perintah transfer dana pun berkembang, sehingga transfer dana tidak hanya lisan atau tertulis tetapi juga elektronik.

Oleh karena itu, diperlukan pengaturan transfer dana yang komprehensif yang menjamin keamanan dan kelancaran transaksi transfer dana serta memberikan kepastian bagi para pihak yang terkait dalam penyelenggaraan transfer dana. Penyelenggaraan transfer dana yang aman, lancar, dan pasti bagi para pihak terkait dimaksudkan agar dapat berperan dalam mendukung perkembangan perekonomian dan pembangunan nasional.

Belakangan ini, sangat tinggi nilai transaksi dan volume transfer dana. Tercatat, transfer dana melalui sistem kliring antarbank melalui BI selaku penyelenggara sistem kliring berjumlah Rp 5-6 triliun setiap hari dari 300 ribu transaksi setiap hari, sedangkan transfer dana melalui sistem Bank Indonesia Real-Time Gross Settlement (BI-RTGS) berjumlah Rp 70 triliun setiap hari dari 50 ribu transaksi setiap hari.

“Oleh karena itu, diperlukan jaminan keamanan dan kelancaran transaksi agar tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, yang tindakannya berdampak terhadap stabilitas keuangan negara,” sambungnya. RUU Transfer Bank memberi landasan hukum bagi semua lembaga dan pelaku transfer bank, baik perorangan, bank, maupun lembaga bukan bank; tata cara transfer dana, termasuk prinsip syariah; serta sistem pengawasan dan ketentuan pidananya.

Selama ini, masyarakat telah lama melakukan transfer dana, tetapi belum diatur khusus dalam ketentuan setingkat undang-undang. Aturan transfer dana sebagian besar diterbitkan oleh otoritas di bidang sistem pembayaran, yaitu Bank Indonesia (BI) menerbitkan Peraturan BI dan Surat Edaran BI yang parsial seperti sistem kliring antarbank dan sistem RTGS. Juga terdapat ketentuan BI yang mengatur transfer dana yang dilakukan oleh bank atau lembaga bukan bank seperti agen pengiriman uang. Di luar BI, transfer dana juga dilakukan oleh lembaga bukan bank dan perorangan.

Mengingat sebagian besar jasa pengiriman uang melalui industri perbankan, sekaligus menyangkut fungsi moneter yang mengatur peredaran uang, maka BI harus diberi kewenangan untuk menata kelembagaan, perizinan, atau pelaksanaan jasa pengiriman uang. Jadi, BI yang mengatur hak dan kewajiban para pihak terkait jasa pengiriman uang yang menjadi bagian jasa keuangan keseluruhan.

Selain itu, Gafar menambahkan, Komite IV DPD mendukung RUU Transfer Dana segera diterbitkan karena menciptakan iklim investasi yang kondusif, serta mendukung otoritas sistem pembayaran dan otoritas lainnya, khususnya yang memperkuat penyelenggaraan transfer dana yang ketentuannya dikeluarkan oleh otoritas dimaksud. “Secara khusus, RUU ini menetapkan BI sebagai Otoritas Jasa Keuangan (OJK), seperti tertuang dalam kewenangan yang diberikan kepada BI.”

RUU Transfer Dana juga mengatur pencegahan penyalahgunaan atau tindak pidana seperti cybercrime, money laundering, atau financing of terrorism. Untuk menghindari tindak pidana pencucian uang, sejak awal perbankan harus mengetahui modus tindak pidana pencucian uang. Misalnya, untuk mentransfer dana Rp 100.000.000,00 maka harus diketahui identitas pengirim dan identitas penerima serta jumlah dana dan jenis mata uangnya.

Konsekuensinya, harus dilakukan sinkronisasi dengan berbagai undang-undang yang berkaitan dengan keuangan, seperti sistem pembayaran nasional, tindak pidana pencucian uang, transaksi keuangan bank dan bukan bank; sistem keuangan nasional yang mengatur mekanisme kerja lembaga keuangan bank dan bukan bank, resiko setiap lembaga keuangan, dan hubungan antarlembaga keuangan.

Kemudian, seharusnya OJK dibahas terlebih dahulu karena menyangkut pengawasan atau kebijakan keuangan, jaring pengaman sistem keuangan (JPSK) yang mengatur sektor keuangan ketika krisis, dan pencucian uang. “Komite IV DPD mengusulkan agar Pemerintah, DPR, dan DPD bersama-sama menyerasikan undang-undang itu melalui perubahan undang-undang yang diperlukan.”( Sumber : Koran Online Pewarta Indonesia )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar