Jumat, 13 Agustus 2010 10:51 Wintari
Bismillahirrohmanirrohim..
Pewarta-Indonesia, Pertanyaan yang sangat sering ditanyakan peserta seminar/workshop/talk show/acara-acara kepenulisan yang menghadirkan penulis hebat (ya iyalah) salah satunya adalah "kapan mulai senang menulis?"
Dan jawaban yang sering diberikan oleh sang narasumber biasanya : "kalau mulai suka menulis sih, sejak dulu banget pas masih kecil, senang bikin diary, ngisi mading di sekolah, kirim ke media, bikin buku dst sampai jadilah saya seperti saat ini"
Dengan beberapa tambahan sana sini atau dengan penyampaian yang berbeda, pada dasarnya beberapa penulis yang (Alhamdulillah) pernah saya 'rampok' rata-rata menjawab seperti itu. So, bisa disimpulkan menulis itu memanglah kegiatan yang harus dilatih terus menerus dan butuh waktu lama untuk mencapai predikat 'mahir'. Tak bisa orang yang baru menulis kemarin sore lalu bisa mencetak buku best seller (kecuali jika dia sedang beruntung plus pembeli buku banyak yang salah beli buku. hehe)
Menulis atau bahkan sekedar menyukai kegiatan menulis sebenarnya memang harus dimulai dari awal jika ingin menjadi penulis. Maka tak salah jika Afifah Afra sudah aktif menulis dan mengirim ke media semenjak masih SMP dan teh Imun (Maimon Herawati) lebih suka membuat cerpen daripada mencatat pelajaran kimia (yang ini baik nggak ya? hihihi).
intinya, seperti slogan di salah satu website "semua penulis hebat pasti berawal dari belajar menulis!".
Nah, berbicara mengenai sejak kapan aku suka menulis. hmm.. pertanyaan langka, nih!
ada yang tanya ke aku tentang itu tapi jarang. jadi aku tanyain ke diriku sendiri aja deh. hehe. melas banget, sih?
okay, aku mulai suka menulis (selain menulis apa yang ada di papan tulis, yang dituliskan oleh guru atau sekretaris kelas) seingatku sejak SD. Dulu bahkan saking pengennya beli buku diary tapi nggak kesampean, karena alasan bayar SPP lebih penting dari beli diary tentu saja, Aku sampai-sampai motong-motong buku tulisku yang masih kosong namun sudah tidak terpakai. Misal ada 1 buku untuk pelajaran Bahasa Daerah, sampai 1 tahun pelajaran selesai materi yang kucatat nggak sampai seluruh isi buku itu, maka halaman-halaman yang kosong itu akan kugunting-gunting. Ukurannya kusesuaikan dengan ukuran diary teman-temanku yang biasa dipamerkan padaku. Kecil dan berkesan 'rahasia'. Maka kertas-kertas tadi biasanya akan ku staples (dengan staples pinjaman dari tetangga) dan sampulnya pun kuambil dari sampul buku yang tidak terpakai. jadilah sebuah diary!
Dalam mind set ku dulu, diary itu adalah BUKU KECIL yang digunakan untuk mencatat kejadian-kejadian yang kita alami dalam 1 hari dan sifatnya rahasia. Hanya penulis dan Tuhan yang tahu isinya. Diary itu seperti sahabat yang setia mendengarkan semua cerita-cerita kita namun di akhir perbincangan kita sebagai pencerita harus 'mengunci' mulut sang sahabat agar tak diceritakan orang lain. Apalagi beberapa diary kan dilengkapi dengan gembok (dan teman-temanku selalu menyembunyikan kunci gemboknya saat memamerkan diarynya padaku) sungguh rahasia!
sebagian pikiran itu benar (menurutku) sampai sekarang, diary adalah media untuk menuangkan semua yang ada di pikiran dan hati kita minimal dalam 1 hari, maksimal tidak terbatas. bahkan bisa berisi catatan perjalanan hidup kita mungkin. Tapi masalah 'rahasia' dan 'gembok' tadi sepertinya agak salah, deh! buktinya sekarang justru banyak orang ingin diarynya dilihat orang lain, tak dikasih 'gembok' atau tulisan 'rahasia' di bagian depan. Blog contohnya. Diary justru adalah sarana menyampaikan isi hati dengan tulisan sekaligus dengan orang lain tanpa bicara sepatah kata pun padanya (asal dia membaca).
Dan, setelah berputar-putar tak tentu arah, inilah maksud tulisanku ini sebenarnya:
Berawal dari suka menulis diary dan 'rahasia' termasuk bagaimana aku mengganggap orang lain mulai mengidolakan, membenci, sebel, marah dan sebagainya dan sebuah bab di buku PERUBAHAN ITU INDAH tentang diary mengenai orang lain (aku lupa pengarang buku itu siapa, pokoknya aku membaca buku itu di Perpustakaan SMK N 1 Ngawi, kalau pengen baca pinjam kesana aja ya.) aku jadi terpikir untuk menyatukan potongan-potongan kisah di diaryku yang isinya tentang 1 orang menjadi 1 diary baru.
Misalnya saja, selama 3 tahun bersekolah di SMK aku punya 1 guru favorit, aku sering menulis tentang beliau namun tentu tidak setiap hari. Mungkin saat aku diajar beliau di kelas 1, saat kelas 2 beliau pindah, saat nggak pernah ketemu beliau dan kita cuma sms an, de es be. Nah tulisan tentang beliau kan pencar-pencar tuh, aku satuin aja jadi 1 kesatuan baru dan aku salin dalam 1 diary baru khusus tentang beliau.
Dengan tambahan dan pengurangan di beberapa tempat tentunya. Ini juga sekaligus cara yang baik untuk mengoreksi tulisan kita sendiri karena saat tulisan itu sudah lama tidak kita baca maka kita bisa menilai tulisan kita sendiri dengan lebih objektif. Berbeda dengan jika setelah menulis kita langsung mengedit tulisan kita, yang terjadi adalah terkadang kita masih menggunakan sudut pandang kita sendiri (sebagai penulis) sehingga sulit menemukan kesalahan. sementara saat kita membaca tulisan lama kita maka kita akan merasa sebagai pembaca, bukan penulis lagi.
kembali ke 'Diary 1 orang' tadi. Aku pernah 2 kali membuat diary semacam itu dan Alhamdulillah sukses besar!
pertama aku membuat (atau lebih tepatnya menyalin) diary tentang kakak kelasku yang dekeettt banget sama aku kayak adik n kakak kandung. Namanya Mbak Alvhy. kutulis ulang semua hal tentang mbak Alvhy di diary ku pada sebuah diary baru. kuceritakan sedetail mungkin dan dengan sudut pandang 'aku' tentu saja. persis seperti diary. jadi saat mbak Alvhy membacanya maka seolah-olah dia sedang membaca diaryku. bukan membaca tulisanku untuknya. tapi membaca tulisan yang berisi obrolanku dengan diriku sendiri dan dengan Tuhan. itu saja!
beberapa hari setelah membaca diary itu mbak Alvhy bilang padaku bahwa dia menangis membaca beberapa kisah. Diantaranya tentang kakakku yang meninggal dunia dan akhirnya mbak Alvhy datang menjadi 'kakak' dari Tuhan, meski hanya adik dan kakak tingkat, kami memang sudah seperti adik kakak kandung.
*So, tulisan yang dibuat dari hati akan sampai ke hati (seperti kata teh Imun dan mbak Titaq). ketika menulis diary tentu kita tak pernah setengah-setengah. semuanya ditulis lengkap. ditulis apa adanya untuk mengeluarkan isi hati kita pada saat itu. bukankah itu fungsi utama diary?
jadi bisa dibayangkan jika tulisan yang blak-blakkan itu dibaca oleh orang yang kita tulis dalam diary kita. walau itu hanya sebaris kalimat
"hari ini aku ketemu mbak Alvhy, trus aku curhat tentang masalahku dan temen-temen sekelas, mbak Alvhy asyik banget deh buat diajak curhat....." misalnya.
Mungkin itu biasa bagi penulisnya namun akan terasa luar biasa bagi si 'tokoh' karena ia akan merasa dirinya bermanfaat. sebaliknya jika kita menulis
"uh, sebel deh! masa mbak Alvhy nggak bales sms-ku. padahal aku tadi pengen cerita...." misalnya,
jika aku menjadi mbak Alvhy yang membaca tulisan itu, maka kebiasaan tidak membalas sms setidakya akan aku kurangi.
yang kedua aku pernah 'membuat' diary juga untuk salah seorang guru di SMK N 1 Ngawi, Bu Endang namanya. beliau adalah salah satu guru favoritku. mirip dengan apa yang kulakukan di Diary Mbak Alvhy tadi, kusalin semua tulisan tentang bu Endang itu pada sebuah diary baru. tak ada yang ditutup-tutupi entah itu baik/buruk.
*ini juga salah satu cara mengapresisasi orang lain, lo. tapi tak boleh juga terlalu banyak menulis hal-hal buruk sehingga dikhawatirkan orang yang akan kita kasih tulisan justru menganggap kita tak suka padanya. intinya harus pas!
setelah 2 hari menyelesaikan membaca Diary dariku itu, sebuah sms dari bu Endang menjadi 'testimoni' untuk karyaku yang satu itu, begini kira-kira tulisnya:
"45 tahun perjalananku. inilah hadiah paling unik dan luar biasa yang pernah kuterima. terima kasih, Nak!"
bisa dibayangkan bagaimana rasanya mendapat sms seperti itu dari idola kita?
subhanallah. luar biasa!
So, masih berpikir untuk 'mengunci' diary kita?
coba pikir lagi deh..
Selamat menulis!
Winwin, dengan semangat menulis yang berapi-api.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar