
Rabu, 18 Januari 2012
Perlukah Revisi Terhadap UU HAM?

Jakarta, dpd.go.id – Belum lagi hilang diingatan publik kasus di Freeport Papua, kini kasus yang terjadi di Mesuji dan Bima menambah panjang daftar pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Mungkinkah kesalahan terletak pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang HAM sehingga perlu direvisi, atau kesalahan terletak pada kurangnya pengawasan terhadap pelaksanaan UU tersebut?
Poengky Indarti, Direktur Eksekutif Imparsial, menyebutkan bahwa lemahnya pemahaman tentang HAM bagi aparat dan birokrasi serta kurangnya monitoring terhadap kasus pelanggaran HAM menjadi salah satu pemicu terjadinya kasus-kasus HAM ini. “Saya menyarankan perlu diadakannya pendidikan dan pelatihan kepada aparat dan birokrasi untuk meminimalisir kejadian seperti sekarang ini”, jelasnya dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Komite I DPD RI. Poengky juga menambahkan adanya kelemahan dalam UU tentang HAM sehingga perlu direvisi, seperti mengenai kewenangan KOMNAS HAM diusulkan untuk dibuat UU tersendiri guna memperkuat fungsi dan peran KOMNAS HAM.
Pelaku penyiksaan pada kasus pelanggaran HAM saat ini memang banyak dilakukan oleh aparat negara seperti kepolisian dan TNI, sehingga pelanggaran yang ada dilakukan tanpa adanya tindakan untuk menghukum pelaku. “Seandainya dihukum pun, hanya mendapat hukuman ringan. Hal inilah yang menyebabkan perlindungan HAM di negara kita semakin memburuk”, ungkap Wahyu Wagiman (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat) di Kompleks Parlemen, Senayan-Jakarta, Selasa (17/01/2012).
Menurut Sri Palupi, kekerasan terhadap para tenaga kerja, khususnya wanita, busung lapar, pengangguran dan semua hal yang menjadi akibat dari kemiskinan, merupakan bentuk dari pelanggaran HAM. “Bila dilihat dari sisi ekonomi, sosial dan budaya, banyak masyarakat yang telah dirampas haknya. Baik itu hak atas pekerjaan, kesehatan, pendidikan, jaminan sosial dan hak keluarga untuk mendapatkan bantuan”, ujar Ketua Institute for Ecosoc Rights ini.
Diharapkan pemerintah agar lebih tegas menerapkan hukum kepada pelaku pelanggaran, terutama aparat negara, dan akan lebih baik lagi jika pemerintah juga mendirikan pengadilan HAM di daerah rawan konflik.
Sumber : dpd.go.id
Citizen Jurnalisme untuk Daerah Tertinggal

Senin, 16 Januari 2012 12:42 | Oleh : Mung Pujanarko
KOPI - Kegiatan jurnalisme warga patut disyukuri telah berkembang secara siginifikan ke arah lebih luas dalam skala dan lebih membaik, dalam kualitas yang tentu saja berproses menjadi bentuk pelaporan yang lebih baik. Persatuan Pewarta Warga Indonesia adalah sebuah wadah bagi Citizen Journalist di seluruh Indonesia bahkan warga Indonesia di berbagai belahan Dunia manapun, -maupun nantinya ada yang boleh pakai bahasa Inggris jika mau menulisnya-, dari belahan manapun di Dunia ini.
PPWI sedang megembangkan apa yang dinamakan simpul-simpul Pewarta Warga, simpul-simpul pewarta artinya adalah seorang atau lebih pewarta warga yang telah memiilki kemampuan dan kemauan menulis, memotret, membuat auvi, dalam bentuk pelaporan yang cukup baik. Kemauan serta kemampuan menulis ini dalam lingkup Jurnalisme Warga tentu sedikit berbeda dengan skill dalam lingkup jurnalisme konvensional reguler. Dalam Jurnalisme warga, skill menulis-skill mewartakan adalah berproses, bergulir ke arah yang lebih baik. Sementara dalam jalur jurnalisme reguler, skill berkomunikasi telah sampai ada taraf tuntutan yang lebih mapan.
Tidak menjadi masalah bagi pewarta warga yang merasa masih kurang dapat menulis dan mewarta.
Ada sobat pewarta warga yang bertanya: “Saya ingin menuliskan sebuah kasus polusi tambang di daerah saya, tapi saya tak tahu macam mana hendak menulisnya , repotlah, ” tutur sobat dari sebuah daerah di Kaliamantan.
Untuknya, sarannya adalah agar mulailah dulu seperti bertutur, karena tak mungkin juga memberikan pelatihan penulisan laporan secara cepat mendadak. Kepada sobat pewarta ini, jangan tergesa-gesa, mulailah dengan kata tempat dahulu untuk membuat tulisan pelaporannya, misalnya : “Di desa saya di desa A, kecamatan B , Kabupaten C, Propinsi D terjadi pencemaran limbah oleh perusahaan emas X.” Jika sudah dapat mulai bercerita dengan melalui gelombang pertama /first wave, berupa lead atau kalimat awal sebagai pembuka, maka menulis seperti berlayar tenang ke tengah lautan pengaliran ide.
Sobat pewarta tersebut, berbinar bahagia dan selanjutnya dia mengetik di laptopnya meski terbata-bata mengetiknya namun, dengan mulai dengan penceritaan (bukan pencitraan) menulis dengan mulai dari kata tempat “Di” yang sederhana ini dia mampu menceritakan kronologis pencemaran tambang emas itu. Baginya tak penting dulu teori penulisan yang advance, tapi bisa menulis peristiwa itu secara runut adalah sebuah kelegaan yang tiada tara. Dia tidak perlu repot menelepon kawan media lokal konvensional untuk memuat berita keluhan warga kampungnya akan pencemaran limbah. Bahkan untuk mensegerakan meluasnya berita, sobat pewarta tadi berencana meng-email tulisannya pada setiap kawan wartawan reguler yang dikenalnya agar mengetahui peristiwa di daerahnya yang tergolong terpencil itu.
Sebenarnya pemerintah melalui misalnya saja Kementrian Daerah Tertinggal dapat bersama PPWI untuk lebih mengaktifkan kegatan jurnalisme warga ini. Untuk apa ? ya untuk percepatan pembangunan daerah tertinggal.
Kementrian Daerah Tertinggal misalnya saja memiliki sumber daya sarana dan prasarana hingga ke daerah-daerah terpencil, maka bersama PPWI bisa sama-sama mengembangkan simpul-simpul pewarta warga. Pewarta warga yang tinggal di kawasan tertinggal dijaring, diseleksi, untuk dibentuk simpul, difasilitasi skill komunikasi, dan PPWI memberikan wahana berupa media citizen jurnalisme dan wahana penting keorganisasian secara Nasional yang memayungi kegiatan pelaporan oleh pewarta itu.
Tentu saja simpul pewarta ini adalah bersifat jurnalisme warga artinya warga yang terpilih tersebut telah mengerti bahwa dia bisa melaporkan apa saja kegiatan komunitas di daerahnya yang terpencil, dengan training kit yang PPWI berikan.
Tujuan dari kerjasama antara Negara dan NGO (non governmental organization) seperti PPWI ini dalah untuk kemajuan nasional, bukan kedaerahan.
Memang terasa sulit untuk diwujudkan, karena banyak kendala berupa sarana dan prasarana, tapi sulit bukan berarti tidak mungkin. Mungkin bila dilaksanakan di kawasan-kawasan tertinggal sebagian yang berupa percontohan.
Kinerja jaringan organisasi PPWI mungkin bebeda dengan cara kerja situs web Kementrian. Kami pewarta warga Indonesia melakukanya dengan satu ideologis, bahwa menceritakan, mewartakan sesuatu yang terjadi, adalah kegembiraan, adalah sebuah kegiatan yang pasti dilakukan orang karena dorongan naluriah manusia untuk bercerita dan berkomunikasi, entah dibayar ataupun tidak, adalah bersifat asasi manusia.
Dibayar atau tidak, orang toh pasti menulis atau mengomunikasikan sesuatu, baik verbal dan non verbal. Paradigma bahwa menulis harus dibayar mungkin ada pada era tahun 1970-an sampai akhir 1990-an, saat media jumlahnya sedikit dan orang berlomba menaikkan tulisan artikelnya di media massa agar dibayar dan agar terkenal. Sekarang kalau kita memang ingin menulis sebuah pengalaman kita, warta kita, tak perlu menunggu sampai kita dibayar, apalagi menunggu agar kita terkenal (famous).
Tulis saja dorongan hati anda untuk menuliskannya. Bila mampu buat saja videonya, dan unggah di situs PPWI. Asyik saja menceritakannya kepada orang lain.
Paradigma ilmu menulis nantinya akan berubah, bahwa orang-orang yang tinggal di daerah terpencil pasti akan menuliskan apa yang terjadi di daerahnya,dengan satu atau lain jalan, dan warta dari pewarta warga di daerah tertinggal ini nantinya akan sampai pula di berbagai media situs web. PPWI telah ikut mempelopori kegiatan jurnalisme warga. Dan ada baiknya jika nantinya simpul pewarta warga secara organisasional ini bisa terbentuk di setiap RT/RW, artinya ada orang di kawasan lingkungan yang mampu dan mau berperan sebagai pewarta warga, demi kemajuan Bangsa. (*)
Oleh : Mung Pujanarko, pelaku thesis (2009 81 0005) di IISIP Jakarta.
Sumber: www.pewarta-indonesia.com
Kriteria Pewarta Warga
Selasa, 17 Januari 2012 20:33 | Oleh : Mung Pujanarko
KOPI - Pewarta warga (citizen journalist) adalah orang yang beraktivitas melakukan kegiatan jurnalisme warga (citizen journalism). Dalam melakukan kegiatan jurnalistiknya, pewarta warga tetap sama menggunakan kaidah-kaidah ilmu jurnalstik, yakni : mencari, mengumpulkan, mengolah dan menyajikan informasi berupa warta baik itu news, soft news, atau artikel (features), serta foto atau bentuk liputan audio visual (auvi).
Saudara pembaca, kini telah banyak bermunculan radio komunitas meski saat ini hanya diperbolehkan beroperasi pada tiga kanal. Menurut ketentuan Kepmenhub no 15 tahun 2002 dan no 15A tahun 2003 yakni di frekuensi FM 107,7 Mhz; 107,8 Mhz; 107,9 Mhz, dengan jangkauan yang terbatas yaitu power maskimal 50 watt dan jangkauan layanan maksimal 2,5 km.
Media cetak komunitas juga sempat berkembang dan kini cencederung mengempis. Jaman awal reformasi di berbagai daerah muncul media-media lokal, karena ibarat sumbat SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers) telah dibuka, karena itu semua warga negara asalkan memiliki badan usaha boleh berusaha di bidang media massa (pers). Ini bagus, dan jangan sampai kita kembali pada era Harmoko lagi yang gelap dan suram bagi dunia pers karena banyak media dibredel, dan ditutup paksa orde baru.
Dalam kemunculan Citizen Jurnalisme ini, entah karena masih baru atau berkembang secara pesat, kini banyak pihak terutama yang merasa berkuasa atas peraturan kemudian mempertanyakan legitimasi citizen jurnalisme, pihak-pihak ini khawatir akan munculnya kekuatan baru (new emerging forces) berupa citizen journalism. Padahal tidak ada yang aneh tentang citizen journalism, karena sejatinya, Citizen Journalism (jurnalisme warga) adalah Hak Asasi Manusia paling hakiki yakni menyuarakan kebebasan mengeluarkan pendapat.
Di negara yang masih berkembang ini kebiasaan menulis dan menata pikiran dalam tulisan masih belum sampai pada titik yang menggembirakan. Setiap tahun hanya 7.000 judul buku yang diterbitkan di Indonesia. Jumlah itu sangat sedikit jika dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Amerika Serikat yang mampu menerbitkan 75.000 judul buku setiap tahun.
Jumlah orang yang suka menulis di beragam media termasuk internet di Indonesia juga diperkirakan hanya 3,4 juta jiwa dari total jumlah penduduk Indonesia tahun 2011 yang diperkirakan mencapai sekitar 241 juta jiwa. Jumlah ini berdasar asumsi bahwa pertambahan penduduk sebesar 1,49% per tahun. Menurut data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasil Sensus Penduduk 2010 menunjukkan jumlah penduduk Indonesia sekitar 237,6 juta orang.
Seorang penulis buku pernah berkata bahwa dia malah menduga bahwa jumlah pembaca buku aktif di Indonesia jika dihitung dari rekor penjualan buku terbanyak maka hanya didapat sekitar angka 200.000, (dua ratus ribu) jiwa dari sekitar 250 juta penduduk Indonesia saja. Bandingkan dengan jumlah penjualan album musik terbanyak sekitar 400 ribu keping yang memperoleh plakat platinum, juga bandingkan dengan penjualan unit RBT (ring back tone) terjual sebanyak 6,7 juta ring back tone untuk satu judul saja, pada satu provider saja.
Inilah budaya Indonesia yang memang harus kita akui bahwa kita ini masih hidup dalam negara dunia ketiga, negara berkembang. Namun dengan adanya fenomena citizen journalism ini, pelan-pelan kita pasti menuju ke arah yang lebih baik dalam bidang tulis-menulis dan dalam bidang kebebasan informasi. Apalagi jika berbicara soal media on line, hasil riset, yang dirilis oleh oleh MarkPlus Insight, jumlah pengguna Internet di Indonesia pada tahun 2011 lalu sudah mencapai 55 juta orang, meningkat dari tahun sebelumnya 2010 di angka 42 juta.
Hanya saja harus diakui bahwa berkembangnya fenomena citizen jurnalism adalah berbanding lurus dengan kemajuan pendidikan. Ini sebuah kepastian. Kegemaran siswa membaca dan menulis harus ditingkatkan meski upaya ini sulit karena mayoritas orang Indonesia dikenal kurang suka membaca apalagi menulis, lebih enak menonton.
Kemudian pelatihan menulis atau jurnalistik juga tetap harus digiatkan oleh siapa saja yang cinta dunia jurnalistik. Di sisi lain ada kecenderungan mengkhawatirkan bahwa siswa pelajar lebih suka menonton musik dan bergembaria ria hura-hura dari pada pada mempelajari sebuah ilmu ketrampilan seperti jurnalistik. Saya pernah mengadakan kursus jurnalistik untuk tingkat SMU dan mahasiswa, dan peminatnya tidak sebanyak ketika saya sebagai panitia bersama mahasiswa membuat event live music di kampus.
Untungnya media sosial bisa merupakan pintu untuk berkembangnya citizen jurnalism.
Lalu apa aja kriteria agar dapat menjadi pewarta warga ? kriterianya hanya satu, yakni : Mampu dan mau untuk melakukannya. Sayangnya masih ada orang yang mondar-mandir pakai kartu citizen journalist, tapi dia tak sanggup untuk menyusun informasi baik tulisan, audio maupun (apalagi) visual. Hanya suka mendapat predikat citizen journalist, mendapat kartu anggota yang bisa dibanggakan, tapi tak sanggup seculipun untuk melakukan kegiatan penulisan, tak sanggup memotret, tak sanggup pula merekam video, apalagi melaporkan secara auditif. Aduh...mak, muncul keinginan agar membantu diberikannya pelatihan sederhana agar yang belum bisa, menjadi bisa melakukan ketrampilan, paling tidak kemampuan dasar menulis, untuk membuat berita sederhana/format berita pendek (spot news), memotret, merekam video dan berbicara layaknya seorang reporter radio. Karena itulah ketrampilan dasar jurnalistik bekal seorang jurnalis, dan bekal dasar seorang pewarta warga. Paling tidak pengertian skill dasarnya dapat.
Maka itu memang saran saya PPWI nantinya harus selektif benar, pada pemberian predikat pewarta warga serta tanda identitas pewarta warga. Karena pewarta warga haruslah orang yang minimal memilki ketrampilan jurnalistik yang paling dasar seperti menulis pelaporan berita singkat/format berita pendek (spot news), sebelum bisa membuat format berita panjang seperti straight news, soft news, hard news, apalagi investigative news, kemudian berbagai jenis artikel dan feature. Yang paling simple dulu saja.
Barulah kemudian kalau mau, setidaknya mampu memotret (ketrampilan dasar fotografi, berupa pengertian aperture, shutter speed, lensa) dan membuat caption (teks foto), ini dulu yang dasar. Sedangkan mengambil gambar melalui video dan merekam suara untuk disalurkan ke media radio adalah kemampuan yang lebih lanjut meskipun juga mendasar sifatnya. Pelan-pelanlah.
Tentu kita malu sendiri bila kita yang pemegang tanda identitas pewarta warga, tapi menulis tak mampu, memotret peristiwa tak mampu, berbicara di saluran radio baik radio komunitas, radio amatir, dan segala macam saluran audio termasuk radio streaming internet, juga tak mampu pula... aduh, kalau begini logikanya adakah kita layak mengaku sebagai pewarta warga ?
Untuk me-mitigasi kekurangan ini ada baiknya pengurus PPWI berinisiatif memberikan pelatihan singkat, dan jika calon pewarta warga tadi sudah lulus ketrampilan dasar (basic journalistic) maka PPWI berhak memberikan semacam sertifikat tanda ketrampilan dasar jurnalistik, seperti halnya jika seorang telah lulus satu level kursus Bahasa Inggris, juga berhak memperoleh sertifikat tanda ketrampilan.
Jadi fungsi sertifikat adalah merupakan tanda bukti yang sah bahwa yang bersangkutan telah lulus pelatihan jurnalistik dasar (basis jurnalistik), dan berhak untuk mendapatkan identitas sebagai pewarta warga agar sedikitnya memiliki pemahaman tentang ilmu jurnalistik yang benar. Karena ilmu jurnalistik ini adalah bukan ilmu sembarangan yang bisa dipraktekan orang secara sembarangan tanpa memperoleh pelatihan. Logikanya, semua profesi apa saja, termasuk supir juga memperoleh pelatihan, belajar, dan ada kursus mengemudinya segala. Ini sebuah hal yang wajar, bahwa jika ingin bisa maka berlatih, jika tidak dapat berlatih sendiri maka minta diajari oleh orang lain, bila ingin diajari oleh lembaga dan memperoleh sertifikat tanda lulus belajar maka ikuti programnya. Hidup selalu penuh pilihan.
Dan pelatihan serta sertifikat ini pun tidak ada paksaan, karena sifatnya hanya membantu bagi calon pewarta yang memang benar buta ilmu jurnalistik.
Lain halnya jika ada pewarta warga yang sudah memiliki ketrampilan skill jurnalistik dasar, apalagi mahir, maka tinggal menunjukkan karya apa saja yang pernah dibuatnya, di media sosial-kah, foto di media online-kah, suka menulis di blog -kah, atau apa saja berupa karya warta yang pernah dibuatnya, maka sudah bisa mengaku dan diakui oleh PPWI sebagai pewarta warga. Atau kalau sudah bisa menulis, tapi belum pernah berkarya, juga tak masalah, tidak ribet, dipersilahkan menulis di media situs PPWI, inipun kapan saja boleh. Itu saja, tidak ada yang repot dan merepotkan. Juga ini bukan guyonan atau bercandaan sifatnya, karena ketrampilan jurnalistik dasar adalah sesuatu yang serius, sama seriusnya dengan belajar ketrampilan menembak bagi seorang tentara.
Saya ingat ketika baru pertama kali menjadi wartawan, kami calon wartawan pada tahun 1990-an saat itu, mendapat pelatihan jurnalistik dari perusaahaan pers tempat kami bekerja, pelatihan dasar berlangsung selama 6 bulan. Pelatihan dasar ini berlaku bagi semua calon wartawan yang berlatar belakang pendidikan apa saja, yang berlatar belakang pendidikan jurnalistik pun kembali memperoleh pendadaran jurnalistik yang diberikan secara disiplin ilmu jurnalstik. Barulah kemudian yang telah lulus dan mengerti dengan baik semua kaidah dan etika serta tata cara jurnalistik sebagai disiplin ilmu dasar, diterjunkan ke lapangan guna meliput berita. (*)
Oleh :Mung Pujanarko, pernah bekerja sebagai wartawan di Surya (Gramedia Grup) Surabaya, kemudian pernah menjadi redaktur harian NU Duta Masyarakat, sewaktu pindah ke Bogor sempat sebagai Branch Manager Majalah AdInfo Bogor, berpengalaman sebagai anggota tim penyusunan Pedoman Komunikasi Resiko untuk Pandemic Preparedness di Komnas FBPI (Flu Burung dan Pandemi Influenza), dan kini menempuh thesis Ilmu Jurnalistik di IISIP Jakarta, serta aktif mengajar di Universitas Juanda Bogor, dan Universitas Jayabaya Jakarta.
Sumber: www,pewarta-indonesia.com
KOPI - Pewarta warga (citizen journalist) adalah orang yang beraktivitas melakukan kegiatan jurnalisme warga (citizen journalism). Dalam melakukan kegiatan jurnalistiknya, pewarta warga tetap sama menggunakan kaidah-kaidah ilmu jurnalstik, yakni : mencari, mengumpulkan, mengolah dan menyajikan informasi berupa warta baik itu news, soft news, atau artikel (features), serta foto atau bentuk liputan audio visual (auvi).
Saudara pembaca, kini telah banyak bermunculan radio komunitas meski saat ini hanya diperbolehkan beroperasi pada tiga kanal. Menurut ketentuan Kepmenhub no 15 tahun 2002 dan no 15A tahun 2003 yakni di frekuensi FM 107,7 Mhz; 107,8 Mhz; 107,9 Mhz, dengan jangkauan yang terbatas yaitu power maskimal 50 watt dan jangkauan layanan maksimal 2,5 km.
Media cetak komunitas juga sempat berkembang dan kini cencederung mengempis. Jaman awal reformasi di berbagai daerah muncul media-media lokal, karena ibarat sumbat SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers) telah dibuka, karena itu semua warga negara asalkan memiliki badan usaha boleh berusaha di bidang media massa (pers). Ini bagus, dan jangan sampai kita kembali pada era Harmoko lagi yang gelap dan suram bagi dunia pers karena banyak media dibredel, dan ditutup paksa orde baru.
Dalam kemunculan Citizen Jurnalisme ini, entah karena masih baru atau berkembang secara pesat, kini banyak pihak terutama yang merasa berkuasa atas peraturan kemudian mempertanyakan legitimasi citizen jurnalisme, pihak-pihak ini khawatir akan munculnya kekuatan baru (new emerging forces) berupa citizen journalism. Padahal tidak ada yang aneh tentang citizen journalism, karena sejatinya, Citizen Journalism (jurnalisme warga) adalah Hak Asasi Manusia paling hakiki yakni menyuarakan kebebasan mengeluarkan pendapat.
Di negara yang masih berkembang ini kebiasaan menulis dan menata pikiran dalam tulisan masih belum sampai pada titik yang menggembirakan. Setiap tahun hanya 7.000 judul buku yang diterbitkan di Indonesia. Jumlah itu sangat sedikit jika dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Amerika Serikat yang mampu menerbitkan 75.000 judul buku setiap tahun.
Jumlah orang yang suka menulis di beragam media termasuk internet di Indonesia juga diperkirakan hanya 3,4 juta jiwa dari total jumlah penduduk Indonesia tahun 2011 yang diperkirakan mencapai sekitar 241 juta jiwa. Jumlah ini berdasar asumsi bahwa pertambahan penduduk sebesar 1,49% per tahun. Menurut data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasil Sensus Penduduk 2010 menunjukkan jumlah penduduk Indonesia sekitar 237,6 juta orang.
Seorang penulis buku pernah berkata bahwa dia malah menduga bahwa jumlah pembaca buku aktif di Indonesia jika dihitung dari rekor penjualan buku terbanyak maka hanya didapat sekitar angka 200.000, (dua ratus ribu) jiwa dari sekitar 250 juta penduduk Indonesia saja. Bandingkan dengan jumlah penjualan album musik terbanyak sekitar 400 ribu keping yang memperoleh plakat platinum, juga bandingkan dengan penjualan unit RBT (ring back tone) terjual sebanyak 6,7 juta ring back tone untuk satu judul saja, pada satu provider saja.
Inilah budaya Indonesia yang memang harus kita akui bahwa kita ini masih hidup dalam negara dunia ketiga, negara berkembang. Namun dengan adanya fenomena citizen journalism ini, pelan-pelan kita pasti menuju ke arah yang lebih baik dalam bidang tulis-menulis dan dalam bidang kebebasan informasi. Apalagi jika berbicara soal media on line, hasil riset, yang dirilis oleh oleh MarkPlus Insight, jumlah pengguna Internet di Indonesia pada tahun 2011 lalu sudah mencapai 55 juta orang, meningkat dari tahun sebelumnya 2010 di angka 42 juta.
Hanya saja harus diakui bahwa berkembangnya fenomena citizen jurnalism adalah berbanding lurus dengan kemajuan pendidikan. Ini sebuah kepastian. Kegemaran siswa membaca dan menulis harus ditingkatkan meski upaya ini sulit karena mayoritas orang Indonesia dikenal kurang suka membaca apalagi menulis, lebih enak menonton.
Kemudian pelatihan menulis atau jurnalistik juga tetap harus digiatkan oleh siapa saja yang cinta dunia jurnalistik. Di sisi lain ada kecenderungan mengkhawatirkan bahwa siswa pelajar lebih suka menonton musik dan bergembaria ria hura-hura dari pada pada mempelajari sebuah ilmu ketrampilan seperti jurnalistik. Saya pernah mengadakan kursus jurnalistik untuk tingkat SMU dan mahasiswa, dan peminatnya tidak sebanyak ketika saya sebagai panitia bersama mahasiswa membuat event live music di kampus.
Untungnya media sosial bisa merupakan pintu untuk berkembangnya citizen jurnalism.
Lalu apa aja kriteria agar dapat menjadi pewarta warga ? kriterianya hanya satu, yakni : Mampu dan mau untuk melakukannya. Sayangnya masih ada orang yang mondar-mandir pakai kartu citizen journalist, tapi dia tak sanggup untuk menyusun informasi baik tulisan, audio maupun (apalagi) visual. Hanya suka mendapat predikat citizen journalist, mendapat kartu anggota yang bisa dibanggakan, tapi tak sanggup seculipun untuk melakukan kegiatan penulisan, tak sanggup memotret, tak sanggup pula merekam video, apalagi melaporkan secara auditif. Aduh...mak, muncul keinginan agar membantu diberikannya pelatihan sederhana agar yang belum bisa, menjadi bisa melakukan ketrampilan, paling tidak kemampuan dasar menulis, untuk membuat berita sederhana/format berita pendek (spot news), memotret, merekam video dan berbicara layaknya seorang reporter radio. Karena itulah ketrampilan dasar jurnalistik bekal seorang jurnalis, dan bekal dasar seorang pewarta warga. Paling tidak pengertian skill dasarnya dapat.
Maka itu memang saran saya PPWI nantinya harus selektif benar, pada pemberian predikat pewarta warga serta tanda identitas pewarta warga. Karena pewarta warga haruslah orang yang minimal memilki ketrampilan jurnalistik yang paling dasar seperti menulis pelaporan berita singkat/format berita pendek (spot news), sebelum bisa membuat format berita panjang seperti straight news, soft news, hard news, apalagi investigative news, kemudian berbagai jenis artikel dan feature. Yang paling simple dulu saja.
Barulah kemudian kalau mau, setidaknya mampu memotret (ketrampilan dasar fotografi, berupa pengertian aperture, shutter speed, lensa) dan membuat caption (teks foto), ini dulu yang dasar. Sedangkan mengambil gambar melalui video dan merekam suara untuk disalurkan ke media radio adalah kemampuan yang lebih lanjut meskipun juga mendasar sifatnya. Pelan-pelanlah.
Tentu kita malu sendiri bila kita yang pemegang tanda identitas pewarta warga, tapi menulis tak mampu, memotret peristiwa tak mampu, berbicara di saluran radio baik radio komunitas, radio amatir, dan segala macam saluran audio termasuk radio streaming internet, juga tak mampu pula... aduh, kalau begini logikanya adakah kita layak mengaku sebagai pewarta warga ?
Untuk me-mitigasi kekurangan ini ada baiknya pengurus PPWI berinisiatif memberikan pelatihan singkat, dan jika calon pewarta warga tadi sudah lulus ketrampilan dasar (basic journalistic) maka PPWI berhak memberikan semacam sertifikat tanda ketrampilan dasar jurnalistik, seperti halnya jika seorang telah lulus satu level kursus Bahasa Inggris, juga berhak memperoleh sertifikat tanda ketrampilan.
Jadi fungsi sertifikat adalah merupakan tanda bukti yang sah bahwa yang bersangkutan telah lulus pelatihan jurnalistik dasar (basis jurnalistik), dan berhak untuk mendapatkan identitas sebagai pewarta warga agar sedikitnya memiliki pemahaman tentang ilmu jurnalistik yang benar. Karena ilmu jurnalistik ini adalah bukan ilmu sembarangan yang bisa dipraktekan orang secara sembarangan tanpa memperoleh pelatihan. Logikanya, semua profesi apa saja, termasuk supir juga memperoleh pelatihan, belajar, dan ada kursus mengemudinya segala. Ini sebuah hal yang wajar, bahwa jika ingin bisa maka berlatih, jika tidak dapat berlatih sendiri maka minta diajari oleh orang lain, bila ingin diajari oleh lembaga dan memperoleh sertifikat tanda lulus belajar maka ikuti programnya. Hidup selalu penuh pilihan.
Dan pelatihan serta sertifikat ini pun tidak ada paksaan, karena sifatnya hanya membantu bagi calon pewarta yang memang benar buta ilmu jurnalistik.
Lain halnya jika ada pewarta warga yang sudah memiliki ketrampilan skill jurnalistik dasar, apalagi mahir, maka tinggal menunjukkan karya apa saja yang pernah dibuatnya, di media sosial-kah, foto di media online-kah, suka menulis di blog -kah, atau apa saja berupa karya warta yang pernah dibuatnya, maka sudah bisa mengaku dan diakui oleh PPWI sebagai pewarta warga. Atau kalau sudah bisa menulis, tapi belum pernah berkarya, juga tak masalah, tidak ribet, dipersilahkan menulis di media situs PPWI, inipun kapan saja boleh. Itu saja, tidak ada yang repot dan merepotkan. Juga ini bukan guyonan atau bercandaan sifatnya, karena ketrampilan jurnalistik dasar adalah sesuatu yang serius, sama seriusnya dengan belajar ketrampilan menembak bagi seorang tentara.
Saya ingat ketika baru pertama kali menjadi wartawan, kami calon wartawan pada tahun 1990-an saat itu, mendapat pelatihan jurnalistik dari perusaahaan pers tempat kami bekerja, pelatihan dasar berlangsung selama 6 bulan. Pelatihan dasar ini berlaku bagi semua calon wartawan yang berlatar belakang pendidikan apa saja, yang berlatar belakang pendidikan jurnalistik pun kembali memperoleh pendadaran jurnalistik yang diberikan secara disiplin ilmu jurnalstik. Barulah kemudian yang telah lulus dan mengerti dengan baik semua kaidah dan etika serta tata cara jurnalistik sebagai disiplin ilmu dasar, diterjunkan ke lapangan guna meliput berita. (*)
Oleh :Mung Pujanarko, pernah bekerja sebagai wartawan di Surya (Gramedia Grup) Surabaya, kemudian pernah menjadi redaktur harian NU Duta Masyarakat, sewaktu pindah ke Bogor sempat sebagai Branch Manager Majalah AdInfo Bogor, berpengalaman sebagai anggota tim penyusunan Pedoman Komunikasi Resiko untuk Pandemic Preparedness di Komnas FBPI (Flu Burung dan Pandemi Influenza), dan kini menempuh thesis Ilmu Jurnalistik di IISIP Jakarta, serta aktif mengajar di Universitas Juanda Bogor, dan Universitas Jayabaya Jakarta.
Sumber: www,pewarta-indonesia.com
Minggu, 01 Januari 2012
Jam Gadang A Happy New Year
Langganan:
Postingan (Atom)